Dalam mencermati segi percaturan politik Indonesia antara konsep politik yang dikembangkan oleh kalangan elite politik baik Islam maupun Kristen, maka dapat dilihat secara kasat mata bahwa masing-masing pihak berada dalam tembok pertahanan yang menjadikan pemahaman dan pemikiran politik itu ada dalam bingkai dogma atau doktrin masing-masing agama. Tidak ada yang dapat menggugah doktrin dari masing-masing agama untuk memblokir pemahaman atau pemikiran politik dari sudut pandang doktrin atau ajaran agama tersebut. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari waktu ke waktu telah mencatat dan membuktikan kepada kita bahwa sejak awal bangsa ini diakui oleh dunia Internasional sebagai negara pada tanggal 17 Agustus 1945, maka semangat nasionalisme menggema dimana-mana, satu daerah diikuti daerah lain, mengakui kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Hal ini tampak dalam segala kebijakan politik (policy makers) pemerintah waktu itu, bangsa Indonesia menganut asas demokrasi konstitusional yang bertujuan memberikan kebebasan politik yang cukup luas dan kebebasan orang per orang dalam mencari dan mengembangkan kepentingan tanpa campur tangan pemerintah. Kalau demikian jadinya, muncul tanya dalam benak kita kenapa pemerintah berani memberikan kebebasan? Jawaban yang sederhana namun menggelitik, ternyata pemerintah punya “senjata” untuk melumpuhkan kebebasan itu dengan sistem kontrol konstitusional. Artinya, setiap elite politik atau massa bebas namun bertanggung jawab terhadap konstitusi. Namun justru dipihak lain, hal ini dengan sendirinya akan membawa sistem ini menuju ke arah sistem “hukum rimba”, siapa yang kuat dialah yang menang. Memang ironis fenomena ini, karena menurut hemat saya, salah satu faktor penyebab ialah munculnya ideologi politik yang menjurus pada fanatisme agama sebagai akibat dari situasi dan kondisi bangsa Indonesia pra kemerdekaan. Kita tahu bersama dimasa ini muncul berbagai sentimen terhadap segala kebijakan politik penjajah yang rupanya lebih mengutamakan misi protestantisme atau lebih dikenal oleh pihak Muslim dengan istilah “Kristenisasi” artinya membuat seseorang untuk masuk agama kristen. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan kristen ada suatu kekhawatiran terhadap pihak Islam akan adanya Islamisasi lewat kegiatan dakwah dan ceramah-ceramah yang menjadi dasar bagi agama Islam menjalankan misinya untuk mendapatkan jemaah.
Seorang ahli politik Indonesia Albert Widjaja dalam penelitian disertasinya Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi Indonesia, mengemukakan realitas kondisi politik Indonesia dari masa Sukarno sampai Soeharto, yaitu munculnya pertanyaan tentang dasar negara antara pihak Islam dan Kristen. Di kalangan Islam pun terdapat pertentangan antara keinginan adanya negara Islam yang murni dan negara sekuler yang dilandaskan pada prinsip-prinsip universal dari agama Islam. Namun sebagian kalangan agama Islam sendiri tetap mempertahankan Pancasila, dengan mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga kebebasan orang memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing. Sedangkan dikalangan Kristen menyadari pula bahwa kesatuan Nasional hanya dapat dipelihara melalui sistem negara sekuler dimana tiap warga negara dapat dipersatukan melalui nilai-nilai yang tidak mendiskriminir sesuatu golongan agama untuk melaksanakan tugas bersama sebagai suatu bangsa. Bahkan dimasa Soeharto, hubungan politik antara Islam dan Kristen rupa-rupanya lebih menonjol atau didominasi oleh pihak Islam. Hal mana tampak dalam konteks pemerintahan baik dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tampaknya jabatan-jabatan “strategis” pemerintahan lebih dominan dipegang oleh kalangan Islam ketimbang dari pihak Kristen. Menurut saya, hal ini dilakukan sebagai bagian dari sikap politik soeharto untuk mendapatkan publisitas dikalangan para kiai atau ulama. Karena selain pihak militer yang telah dikuasai oleh Soeharto (karena ia dari kalangan militer), maka yang terpenting adalah menguasai massa atau masyarakat demi mendapatkan dukungan. Namun bagi Soeharto yang paling utama adalah mendapatkan kekuasaan dari elite agama. Elite agama menjadi sarana bagi penguasa melebarkan sayap kekuasaannya demi dan untuk kelanggengan pemerintahannya. Karena itu tak dapat dipungkiri muncul berbagai perbedaan baik paham dan ideologi politik kebangsaan mengenai dasar negara yang justru berakibat pada ketegangan sosial dan konfrontasi politik khususnya antara pihak Islam dan Kristen.
Ketika dengungan reformasi digulirkan, pemerintahan Soeharto tumbang, namun realitas sosial politik bangsa Indonesia justru semakin “berapi-api”. Ideologi politik yang telah lama tertanam atau terbenam dengan kondisi politik yang dijalankan oleh Soeharto pada akhirnya meletus, berkobar menyuarakan kenyataan pahitnya kesengsaraan yang dirasakan dan dialami sampai sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di masa ini mulai muncul peranan dari kalangan Kristen yang berusaha memberikan pemikiran-pemikiran kebangsaan, bagaimana mengatasi segala perbedaan dan bagaimana memelihara persamaan antara Islam-Kristen dalam hubungannya dengan kesatuan sekaligus keutuhan bangsa Indonesia. Namun, harus disadari pula bahwa dalam kenyataan, sebagian elite masyarakat tertentu, berusaha untuk menghambat proses perkembangan pemikiran politik Kristen. Mungkin ini dimaksudkan agar kalangan Kristen tidak dapat menguasai sendi-sendi pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena itu tidaklah mengeherankan kalau sebagian besar posisi kalangan kristen dalam peranannya dibidang-dibidang pemerintahan selalu “dibatasi”. Fenomena-fenomena ini menurut saya sebagai suatu kecenderungan nasionalisme yang kerdil dan picik, semacam adanya ketakutan dari elite politik tertentu dengan mem-back-up agama sebagai jalan untuk melaksanakan kepentingan politik (Interest politik) bagi kesuksesan dan kesejahteraan para elite agar tidak mengganggu status quo. Karena itu menurut Franz Magnis Suseno, dalam dimensi politik Islamisasi sangat kental. Aspirasi politik Islam sekarang bukan “negara Islam”, mengubah pancasila, dan Konstitusi UUD 1945 dan sebagainya, melainkan menyeimbangkan kembali kenyataan bahwa pengurangan posisi kristen dalam pelbagai lembaga politik dan hal ini harus dipahami sebagai kenyataan. Karena itu baginya bahwa Islam lebih “tajam” analisis – sosio politisnya ketimbang Kristen (Franz Magnis Suseno : 2003 : 16). Maka dapat dikatakan pula bahwa tidak ada perluasan atau penyebaran agama tanpa dimensi politik, dan yang paling menentukan adalah sekiranya keyakinan hati dan nurani kita sebagai bagian dari otensitas persekutuan umat atau jemaat.
Semacam Kesimpulan;
- Kita memang masih menghadapi banyak masalah, kecurigaan, kurang saling mengerti dan kesalahan-kesalahan lainnya. Dikalangan Kristen masih ada ketakutan terjadap tambahan pengaruh Islam dalam politik. Pun dikalangan Islam, masih terdapat sikap atau tindakan yang cenderung melihat dan “mengawasi” langkah-langkah politik Kristen sebagai tindakan anti Islam.
- Jika hubungan Kristen – Islam relax (santai) dan wajar, semua budaya politik kita benar-benar harmonis dan demokratis. Di alam non-demokratis, terpaksa setiap pihak harus “lobby” dengan penguasa untuk mendapat kedudukan dan keuntungan. Ini tentu mendukung sikap persaingan yang tidak sehat, saling curiga, kekuatiran konspirasi, konfrontasi dan sebagainya.
- Oleh karena itu adalah lebih baik Islam-Kristen bersatu dalam sesuatu yang sama-sama mereka minati, karena akar religius mereka bersama untuk mewujudkan, memelihara dan mensejahterahkan masyarakat yang adil, sesuai dengan martabat manusia bebas dari segala penindasan manusia. ~~~Semoga~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar