Sabtu, 11 April 2009

BELA RASA YESUS SANG PEMBEBAS

Membaca Perjanjian Baru dengan memperhatikan konteks peristiwa atau cerita yang dituliskan oleh para penyaksi iman, maka kita akan disuguhkan sebuah cerita yang sangat menarik sekaligus menantang akal dan iman yang tentunya akan membuat kita benar-benar tergugah tetapi sekaligus “menggugat”. Gugatan ini akan nampak saat diri kita masuk dan menyelami setiap peristiwa atau cerita yang tertuang dalam Alkitab. Kemudian dalam benak kita pasti muncul pertanyaan, adakah hubungan konteks cerita atau peristiwa dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru dengan Bela rasa Yesus Nasareth? Dalam tulisan inilah saya hendak mengungkapkan realitas hubungan yang dimaksud itu. Pertama, Perjanjian Baru merupakan salah satu sumber dari “Yesus Sejarah” atau yang biasa disebut dengan Yesus Historis dan Yesus Pra Paskah. Kedua, bela rasa Yesus sebagai sang pembebas dapat kita lihat dari ungkapan-ungkapan atau kesaksian iman yang berapi-api dari para penulis injil yang sungguh-sungguh yakin bahwa kehadiran dan kedatangan Yesus adalah membawa misi pembebasan bagi rakyat dengan membebaskan mereka dari ketidakadilan-ketidakberdayaan ekonomi-sosial. Karena itu menurut saya, adalah logis bila tugas yang diemban Yesus justru hadir dari realitas “akar rumput” sebagai bagian dari bentuk solidaritas dengan penderitaan dari kaum marjinal yang selalu mempertanyakan nilai-nilai dari struktur ketidakadilan dari akarnya. Yesus melihat sekaligus merasakan betapa pedihnya penderitaan, siksaan, sampai penghukuman yang berakhir dengan kematian yang dialami oleh orang-orang sekitarnya hanya karena mereka sangat berbeda dengan kalangan elite masyarakat dengan kedudukan atau status sosial-religiusnya. Karena itu Yesus dengan lantangnya menegur, memberikan peringatan sekaligus bertindak secara proporsional demi menjaga harkat dan martabat manusia yang sangat berharga dimata Allah.

Memang, paradigma berpikir secara kritis dari Yesus pada waktu itu muncul untuk menantang sekaligus memberikan perlawanan terhadap konsepsi berpikir yang kaku dan menindas terhadap bangsa Yahudi. Tidak dapat dipungkiri bagi para penulis Perjanjian Baru khususnya para penulis Injil dengan terang mengisahkan bahwa Yesus sangat radikal dalam segala tindakan yang real dan konkret untuk mengubah dan menata kembali tatanan dunia sosial masyarakat Yahudi yang telah banyak bermuatan kepentingan. Menurut Borg, bagi Yesus bela rasa adalah suatu sifat pokok Allah dan sifat moral utama dari suatu kehidupan yang berpusat pada Allah. Karena itu, bela rasa merupakan ringkasan padat pengajaran-Nya baik mengenai Allah maupun mengenai Etika (Marcus J. Borg: 2003; 51). Karena itu, bela rasa Yesus merupakan etos kerjanya yang bermuara pada misinya untuk membebaskan rakyat. Dan hal ini sangat berbeda dengan etos Yudaisme abad pertama yang berusaha untuk meniru kekudusan Allah dengan melegitimasi sistem adat dan ketahiran sebagai barometer untuk melihat orang atau kelompok tertentu dari masyarakat kudus atau tidak. Akibatnya, rakyat justru terpolarisasi dalam sebuah struktur hierarkis masyarakat yang sangat brutal dan menindas. Dalam kesaksian Alkitab khususnya Perjanjian Baru dalam Lukas 6:27 "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; adalah kritikan sekaligus penentangan Yesus terhadap pemahaman Yudaisme abad pertama yang sangat mengutamakan aturan-aturan mengenai hukum kekudusan yang absolut misalnya dalam kitab Keluaran 22:31 “Haruslah kamu menjadi orang-orang kudus bagi-Ku: daging ternak yang diterkam di padang oleh binatang buas, janganlah kamu makan, tetapi haruslah kamu lemparkan kepada anjing", merupakan aturan mutlak bagi masyarakat Yahudi yang hanya mengasihi sesama anggota umat perjanjian yang dianggap kudus dan tahir. Karena itu dalam praksisnya, Yesus dengan tegas dan berwibawa menolak pemahaman ini, sebab dengan mengasihi musuh, berarti bukan hanya orang Israel yang dikasihi melainkan juga bagi para penduduk lainnya termasuk yang dianggap kafir sekalipun.

Bahkan, tuduhan yang keras dengan beraninya diungkapkan oleh Yesus terhadap elite masyarakat Yahudi yang didominasi oleh kalangan Saduki, Farisi bersama ahli-ahli Taurat yang lebih mengutamakan hal-hal yang ritual dan lahiriah ketimbang hal-hal yang bersifat moral dan etis yang lebih menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Yesus membuat mereka mengetahui bahwa bukan pada persoalan tahir atau tidaknya seseorang atau bukanlah hal yang seremonial belaka, tetapi lebih pada kemurnian moral. Sama seperti sanggahan Yesus kepada elite agama Yahudi "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Mrk 7:6). Karena itu bagi Yesus persoalan ketahiran dalam realitas kehidupan, bukanlah pada perkara lahiriah semata, melainkan justru terletak pada batin atau nurani. Dengan demikian, secara langsung Yesus berani mengkritik sekaligus memprotes sistem ketahiran bangsa Yahudi yang mengutamakan batas-batas lahiriah. Menurut Yesus “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia, Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia. Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri (Mrk 7:7-9). Lebih jauh lagi kalau kita belajar dari perumpamaan yang populis mengenai perumpamaan Orang Samaria Yang Murah Hati digunakan oleh Yesus sebagai bentuk sikap kritis sekaligus bijaksana terhadap tindakan atau perbuatan si Imam dan si Lewi yang dengan sistem ketahirannya tidak akan mau menolong orang yang sedang sekarat bahkan hampir mati. Namun, bagi orang Samaria yang dari sistem ketahiran bangsa Yahudi dianggap sebagai najis dan kotor, justru menunjukkan tindakan yang berbela rasa. Karena itu Yesus bertanya “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" (Luk 10:36-37).

Bela rasa Yesus dengan gagasan sistem pembebasan tentunya secara terbuka dan berhadap-hadapan dengan sistem lama yang telah berakar dalam tradisi diubah dan ditentang hanya untuk kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Yahudi lainnya. Dengan begitu, jelaslah tulisan para penyaksi iman mengenai etos bela rasa Yesus yang menonjol sebagai suatu gerakan suatu pembebasan yang menyerang sistem ketahiran Yahudi yang tertutup dan menindas. Akibatnya, pada satu pihak posisi dari elite pemimpin agama Yahudi yang selama ini langgeng dan aman-aman, menjadi goyang dan terancam. Dan di lain pihak, Yesus menghadapi konsekuensinya saat Ia harus rela dikorbankan dengan hasil konspirasi politik, tetapi juga Ia mau mengorbankan diri demi tujuan dan misinya. Kalau demikian yang dialami Yesus dalam zamannya, bagaimana dengan kita zaman kita sekarang ini yang dengan sistem sosial, politik dan ekonomi yang selalu menindas baik secara psikis maupun fisik? Maka jawabannya terletak pada Yesus yang berbela rasa dengan sesamanya tanpa memandang siapa saja ia, yang lawan pun dikasihi-Nya. Karena itu segala bentuk penderitaan dan kemiskinan yang selalu mewarnai kehidupan manusia di dunia ini, baik pada zaman Yesus maupun pada zaman sekarang harus membuat kita dengan berani dan tegas menunjukkan sikap untuk membebaskan masyarakat dan jemaat yang mungkin mengalami penyaliban. Karena dengan demikian maka kita telah dan sedang merombak segala bentuk sistem ketahiran masa kini yang selalu membuat “manusia tersalib”. Hanya melalui penghayatan inilah kita akan dapat memahami bagaimana Yesus menghayati kasih Allah yang dibagikan-Nya kepada dunia, sekalipun salib menjadi akhir dari perjuangan-Nya. Ini adalah kenyataan bahwa Yesus menghayati tentang Allah sebagai Bapa-Nya dalam pewartaan Perjanjian Baru secara khusus tuturan kitab-kitab Injil yang melahirkan suatu bentuk perjuangan praksis pembebasan dalam pelayanan dan karya-Nya untuk melepaskan rakyat dari segala sistem penindasan yang berlaku. Semua tindakan dan karya-Nya adalah bukti bahwa Ia tetap setia terhadap panggilan-Nya yang selalu terhayati dalam kenyataan hidup-Nya. Karena itu, inilah suri teladan dan sekaligus praksis kehidupan bagi kita dalam menghadapi situasi dunia dan gereja, jemaat dan masyarakat disekitar kita.

Menghayati karya dan pelayanan Yesus, maka hati nurani selalu tersentuh. Sebab sentuhan itu selalu mengajak kita menyelami ke dasar nurani dan pikiran kita untuk melihat Yesus sebagai Sang Pembebas dengan bela rasa-Nya dalam sanubari kita. Sebab bukan seremonial dan ritual belaka yang menjadi penekanan Yesus, melainkan langsung pada praksisnya. Karena perjuangan Yesus ini adalah murni gerakan moral untuk membebaskan orang-orang miskin dan terpinggirkan tanpa pamrih dan tanpa membedakan manusia dari segala ikatan primordial apapun. Ia selalu menentang struktur dan sistem sosial yang tidak adil, dimana ada suatu perbudakan, maka itu berarti disitu pula ada tirani kekuasaan sebagai alat raksasa yang selalu menindas. Dan inilah yang selalu ditentang Yesus sebagai solusi melaksanakan praksis politik bagi misi-Nya dalam membangun sistem kehidupan masyarakat yang damai dan adil serta sejahtera dari Allah. Dengan demikian syaloom itu akan membuat setiap umat menyadari eksistensi mereka sebagai umat pilihan Allah.

Munculnya realitas sejarah tentang orang-orang miskin dan terpinggirkan, orang-orang yang disiksa sampai dibunuh, memperlihatkan kepada kita bahwa sisi kehidupan manusia yang bobrok dan rusak. Sebab segala sistem dan struktur yang telah dirancang, dibuat dan dilaksanakan sendiri oleh manusia justru telah menghasilkan kemiskinan dan marjinalisasi secara besar-besaran dan mengglobal. Oleh karena itu kesadaran akan realitas “manusia yang tersalib” menggugah mentalitas kita untuk melihat apa yang dilakukan Yesus sebagai tokoh sentral pembebasan dalam iman percaya kita. Praksis pembebasan inilah yang menjadi inti usaha untuk menciptakan suatu masyarakat dan jemaat yang damai dan aman. Sebagaimana pula bela rasa-Nya yang telah diwujudkan Yesus dan dibagikan-Nya secara gratis dengan mengasuransikan diri-Nya hanya dan demi kesejahteraan manusia. S E M O G A

By: ERICK PATONAUNG, S.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar